09 June 2011

Hukum Mengungkit-ungkit Pemberian Dan Menyakiti Hati Si Penerima

 

Larangan Mengungkit-ungkit Pemberian dan Menyakiti Perasaan si Penerima

Allah SWT berfirman, “Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Rabb mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari shadaqah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah maha kaya lagi Maha penyantun. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) shadaqahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima),” (Al-Baqarah: 262-264).
Dari Abu Dzarr r.a. dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda, “Tiga macam orang yang Allah tidak akan mengajak mereka bicara pada hari kiamat, tidak melihat mereka, tidak menyucikan mereka dan bagi mereka adzab yang pedih.” Rasulullah mengulangi perkataan itu tiga kali. Abu Dzarr berkata, “Celaka dan merugilah mereka, siapakah mereka wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “orang yang memanjangkan celana atau kainnya melebihi mata kaki, mannan (orang yang mengunkit-ungkit pemberian) dan orang yang menjajakan dagangannya dangan sumpah palsu,” (HR Muslim (106).
Dari Abu Umamah r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, “Tiga macam orang yang Allah tidak akan menerima dari mereka tebusan ganti rugi, ‘Anak yang durhaka terhadap orang tuanya, orang yang mengungkit-ungkit pemberian dan orang yang mendustakan takdir’,” (Hasan, HR Ibnu Abi ‘Ashim dalam kitab as-Sunnah [323], ath-Thabrani dalam Kabiir [7547]).
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, “Tidak masuk syurga anak zina, mannan (orang yang mengungkit-ungkit pemberian), anak yang durhaka terhadap orang tuanya dan pecandu khamer (minuman keras),” (Hasan, HR Ahmad [II/203], ad-Darimi [II/112], Ibnu Hibban [3383]).

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, “Tiga macam orang yang tidak masuk syurga, Anak yang durhaka terhadap kedua orang tuanya, orang yang candu meinuman keras dan orang yang mengungkit-ungkit pemberiannya,” (Shahih, HR an-Nasa’i [V/80-81], Ahmad [II/134], al-Hakim [IV/146-147], al-Baihaqi [VIII/288], al-Bazzar [1875], Ibnu Hibban [7341]).
Kandungan Bab:
1. Mengungkit-ungkit pemberian dan menyakiti si penerima merupakan sifat orang bakhil, karena dia merasa takjub dengan pemberiannya. Ia pun merasa pemberiannya adalah perkara yang besar meskipun sebenarnya kecil. Lalu ia iringi dengan mengungkit-ungkit pemberian dan menyakiti hati si penerima karena ia mengira dirinyalah yang telah memberi.
2. Haram hukumnya al-mann (mengungkit-ungkit pemberian) dan al-adzaa (menyakiti si penerima). Karena kedua sifat ini membatalkan rasa syukur dan dapat menghapus pahala amal, seperti yang dikatakan oleh sebagian orang, mengungkit-ungkit pemberian dapat merusak seluruh kebaikan yang telah engkau berikan, seorang yang mulia apabila memberi tidaklah menyertakan pemberiannya dengan mengungkit-ungkit.
Perkataan yang elok lebih beik daripada shadaqah yang diiringi dengan al-mann dan al-adzaa, berdasarkan firman Allah SWT, “Pekataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari shadaqah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah ahakaya lagi Mahapenyantun,” (Al-Baqarah: 263).
Benarlah perkataan Abu Bakar al-Warraq di bawah ini. Berbuat baiklah sebaik-baiknya, di manapun dan kapanpun, perbuatan hamba haruslah bersih dari al-mann.
3. Infak fi sabilillah termasuk perbuatan ma’ruf yang mendekatkan diri kita kepada Allah dan melindungi kita dari keburukan-keburukan, hendaklah amal tersebut benar-benar ikhlas mengharap wajah Allah semata. Allah SWT berfirman, “Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Rabb mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati,” (Al-Baqarah:262).


Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 1/601-602.

No comments:

Post a Comment